Diiringi gondang Batak, puluhan orang manortor di depan Gedung DPRD
Sumut, Jalan Imam Bonjol, Medan, Senin (26/1). Kekayaan etnik itu
ditampilkan saat mereka berunjuk rasa menuntut pelestarian Danau Toba.
Pengunjuk
rasa mengatasnamakan Jalin d-Toba ini juga membakar kemenyan. Aksi
mereka gelar dengan tuntutan utama mendesak penutupan
perusahaan-perusahaan yang dinilai telah merusak Danau Toba.
Jalin
d-Toba yang merupakan gabungan dari sejumlah kelompok masyarakat ini
menuntut peninjauan ulang penerbitan izin-izin dan konsesi perusahaan di
kawasan Danau Toba. Dalam aksinya, pengunjuk rasa mengenakan kaus putih
bertuliskan "Tano Batak terluka, Jokowi lihatlah!" Tulisan serupa juga
mereka tuangkan dalam poster yang dibawa.
"Kehadiran berbagai
industri di kawasan Danau Toba telah menimbulkan dampak negatif terhadap
tatanan kehidupan masyarakat, perekonomian, sosial-budaya dan
lingkungan di Tano Batak," kata Sebastian Hutabarat, salah seorang
pengunjuk rasa.
Dalam press rilis yang dibagikan kepada wartawan,
Jalin d-Toba menyebut sejumlah perusahaan besar yang berkontribusi
menimbulkan kerusakan di Danau Toba, yaitu PT Inti Indorayon Utama (IIU)
yang sudah berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL), perusahaan
bubur kertas di Sosor Ladang, Porsea, Toba Samosir; PT Allegrindo
Nusantara, peternakan babi di Urung Pane, Purba, Simalungun; Simalem
Resort (PT MIL); dan PT Gorga Duma Sari (GDS), perusahaan perkebunan
hortikultura di kawasan hutan Tele; termasuk pula PT Inalum yang dinilai
bertanggung jawab terhadap turunnya permukaan air Danau Toba.
Pengunjuk
rasa menilai kerusakan terbesar dihasilkan PT TPL. Sejak hadirnya
perseroan pada 1983, telah banyak kerugian bagi kehidupan masyarakat,
infrastruktur, hutan dan lingkungan. Bahkan ketika Pemerintahan Presiden
BJ Habibie perusahaan ini diperintahkan untuk ditutup operasionalnya,
sebelum dibuka kembali 3 tahun berselang dengan alasan paradigma baru.
Kenyataannya,
paradigma baru yang dimaksud tidak terbukti. Perusakan lingkungan masih
marak terjadi, perampasan tanah/hutan adat masih berlangsung, perusakan
infrastruktur jalan akibat truk-truk logging yang mengangkut muatan
melebihi tonase, pencemaran air dan udara akibat pembuangan limbah
pabrik.
Berbekal konsesi lahan seluas 188.055 hektare lebih, TPL
dengan leluasa membabat habis hutan tanpa memperhitungkan kerusakan
hutan dan lingkungan. Hutan alam dan hutan adat yang dulunya berisi
aneka kayu alam berubah menjadi hamparan eucalyptus. Hutan pun menjadi
monokultur. Berbagai jenis pohon dan tanaman endemik, seperti kemenyan,
akhirnya rusak dan terancam punah. "Rakyat tidak pernah setuju untuk
menanam eukaliptus," kata Sebastian berapi-api.
Para pengunjuk
rasa juga menuntut agar pemerintah menghormati, mengakui dan melindungi
hak-hak masyarakat lokal serta masyarakat adat dalam menyikapi kehadiran
berbagai perusahaan di kawasan Danau Toba. Penegak hukum pun diminta
menindak tegas pembalakan hutan dan truk-truk pengangkut kayu yang
ditengarai telah merusak jalan di sekitar kawasan Danau Toba.
"Sangat
miris jalan itu dirusak, karena jalan iru dibangun Belanda pada 200
tahun lalu. Indonesia tidak pernah membuka jalan di sana," sebut Sebastian